Semitioka para Koruptor

 
 
 
 
 
 
i
 
Rate This


Semitioka para Koruptor
Umaimah Wahid  ;   Dosen Fikom Universitas Budi Luhur
MEDIA INDONESIA,  12 November 2013

  
KASUS korupsi saat ini sudah menjamah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hampir tidak ada lembaga negara yang bersih dari korupsi selain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Semoga KPK tetap menjaga integritasnya itu. Maraknya kasus korupsi menjadi konsumsi publik melalui pemberitaan media massa. Umumnya para tersangka tampil sebagai individu yang religius. Jarang sekali wajah, penampilan, dan bahasa tubuh mereka memperlihatkan penyesalan atau tertekan. Terbukti mereka masih bisa tersenyum, menjawab pertanyaan wartawan, dan berdandan.

Menarik memahami tampilan tersangka koruptor dengan menggunakan kajian semiotika. Menurut Paul Cobley dan Litza Janz, semiotika berasal dari kata seme, bahasa Yunani yang berarti penafsir tanda. Semiotika, yang biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda (the study of signs), berarti juga studi sistematis mengenai produksi dan in terpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia.

Salah satu bapak semiotika modern Ferdinand De Saussure menyatakan semiotika adalah suatu ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat, artinya proses pemaknaan terhadap sesuatu yang menjadi tanda, lambang, isyarat, dan gejala.

Dalam konteks pemberitaan kasus korupsi para tersangka memproduksi tanda baik bahasa, ide, pikiran, perasaan, benda, dan tindakan. Mereka juga memproduksi lambang, yaitu sesuatu yang dapat menandai sesuatu yang lain secara konvensional, tidak secara alamiah dan langsung, dan memberikan sinyal atau isyarat dan juga gejala. Semua produksi tanda, lambang, isyarat, dan gejala kemudian dipergunakan media sebagai sumber informasi yang ditransformasikan kepada masyarakat.

Wajah tersangka

Angelina Sondakh terlibat dalam kasus korupsi Wisma Atlet dan Miranda S Goeltom tersandung kasus suap anggota DPR berkaitan dengan pencalonan dirinya sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI). Angelina dan Miranda pada awal kasus menampilkan wajah yang penuh senyum dan ramah. Dalam kajian semiotika, itu bermakna bahwa tersangka masih dapat mengendalikan kasus yang melibatkan diri mereka. Namun, dalam proses persidangan Angelina mulai menampakkan wajah yang sendu, sedih, dan tidak gembira. Tampilan tersebut merupakan tanda sekaligus isyarat dan bermakna mulai muncul keputusasaan tersangka terhadap proses hukum yang berlangsung.

Sedangkan wajah Miranda tidak banyak berubah dari awal dan akhir proses persidangan. Dia selalu penuh senyum tetapi tegas, yang bermakna bahwa yang bersangkutan yakin dan percaya bahwa apa yang dialami hanyalah satu proses dalam hidup, dan tidak akan berpengaruh besar bagi karier dan citra dirinya. Hal itu sekaligus menampilkan sosok yang mandiri dan tangguh dengan segala persoalan yang dihadapi, dan menjadi lambang bagi kekuatan Miranda.

Tampilan wajah yang sedikit tegang tetapi tetap cool justru ditampakkan mantan Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri Irjen Djoko Susilo. Dapat diartikan bahwa Djoko sangat mungkin merasa malu atau bahkan tidak bisa menerima tuduhan korupsi hanya ditimpakan kepada dirinya. Namun, tampilan wajah cool dapat di artikan bahwa kasus itu masih mungkin dapat `diatur’ untuk hal hukuman karena Djoko masih cukup berpengaruh.
Wajah sangat periang justru muncul dari mantan Menpora Andi Alifian Mallarangeng yang terlibat kasus kompleks olahraga Hambalang. Dengan wajah penuh senyum dan terbuka dapat dimaknai bahwa dia tidak merasa khawatir. Andi tidak merasa hancur dan meyakini tidak bersalah. Di sisi lain, itu menunjukkan tampilannya bermakna tersangka sangat bertanggung jawab dan siap bekerja sama menuntaskan kasus korupsi Hambalang.

Sikap percaya diri juga diperlihatkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar. Pada awal penangkapan oleh KPK dia mengumbar senyum dan mengacungkan jempol, yang dapat dimaknai tersangka merasa tidak bersalah dan akan dapat membuktikan keyakinan tersebut. Hal tersebut diperkuat beberapa pernyataannya bahwa dia tidak menerima suap dan itu ialah jebakan. Tanda jempol merupakan isyarat bahwa yang bersangkutan tetap percaya diri, benar, dan baik-baik saja kondisinya.

Paling menarik ialah apa yang ditampilkan Ahmad Fathanah yang terlibat korupsi impor sapi dan sekaligus menyeret mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan Ishaaq. Fathanah selalu senyum semringah dan tenang. Tersangka sangat mungkin tidak merasa khawatir dengan kasus yang dialami karena tidak akan memengaruhi reputasinya. Justru, yang reputasinya rusak ialah PKS yang dikenal sebagai partai bersih, suci, prorakyat, dan menolak korupsi.

Tanda yang paling mencolok dan menarik ialah pakaian dan aksesori yang digunakan para tersangka dan terdakwa kasus korupsi. Angelina, Nunun Nurbaity, dan Miranda selalu tampil dengan pakaian yang bagus, rapi, dan enak dilihat. Mereka sangat fashionable dengan pakaian dan aksesori bermerek. Hal itu merupakan tanda bahwa mereka berduit dan paham mode. Bukankah sebenarnya itu lambang dari seseorang atau kelompok yang tidak memiliki rasa malu dan tidak risih dengan korupsi yang telah mereka lakukan? Mereka sangat nyaman menunjukkan menikmati `uang korupsi’, dan hal tersebut seolah-olah bukan masalah penting. Itu merupakan isyarat bobroknya kualitas pejabat dan politisi negeri ini.

Media massa dan korupsi

Apa yang ditampilkan media dan dikonsumsi masyarakat menjadi sumber informasi dan juga sumber rujukan. Pengaruh media massa yang besar dalam membentuk persepsi dan opini masyarakat mengenai suatu peristiwa telah menempatkannya sebagai sumber informasi utama, dan sekaligus ikut menyingkirkan sumber-sumber informasi lainnya.

Pengaruh media yang besar jika dikaitkan dengan terpaan media yang isinya mengenai kasus-kasus korupsi dan pemberitaan secara terus-menerus telah ikut berpartisipasi dalam proses rekonstruksi pola pikir dan budaya masyarakat Indonesia. Masyarakat belajar bahwa korupsi yang dilakukan dapat memperkaya diri dan diusahakan tidak diketahui. Seandainya diketahui dan tertangkap juga masih dapat ‘diatur’ sedemikian rupa untuk meringankan hukuman.

Terpaan media mengenai korupsi menciptakan ‘pemahaman yang salah’ di tengah masyarakat. Hal itu berakibat fatal bagi pembangunan fisik dan moral bangsa. Media sebagai sumber informasi utama harus berpikir ulang atau melakukan rekonstruksi secara serius mengenai konten atau isi berita baik dari segi bahasa, gambar, dan strategi penyajian. Sehingga pemberitaan media dapat menjadi sumber informasi yang mampu mengonstruksi masyarakat yang lebih baik terkait dengan masalah korupsi. Media harus menjadi pionir dalam pemberantasan korupsi dan tidak menjadi sumber informasi yang justru memperbesar jumlah koruptor secara tidak disadari. 
Karena itu, diperlukan pemberitaan mengenai korupsi yang justru memunculkan efek jera di tengah masyarakat, termasuk pada para penjabat negara. 

Leave a Reply